Peristiwa 10 November
Dari
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pertempuran Surabaya
|
|||||||
Bagian
dari Perang Kemerdekaan Indonesia
|
|||||||
Tentara India Britania menembaki penembak runduk Indonesia di balik tank Indonesia yang terguling dalam pertempuran di Surabaya, November 1945. |
|||||||
|
|||||||
Pihak yang terlibat
|
|||||||
Komandan
|
|||||||
Kekuatan
|
|||||||
20,000 tentara
100,000 sukarelawan[1] |
|||||||
Korban
|
|||||||
Pertempuran
Surabaya merupakan
peristiwa sejarah perang antara pihak tentara Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di Kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme. [2]
peristiwa sejarah perang antara pihak tentara Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di Kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme. [2]
Daftar isi
- 1 Kronologi penyebab peristiwa
- 1.1 Kedatangan Tentara Jepang ke Indonesia
- 1.2 Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
- 1.3 Kedatangan Tentara Inggris & Belanda
- 1.4 Insiden di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya
- 1.5 Kematian Brigadir Jenderal Mallaby
- 2 10 November 1945
- 3 Referensi
- 4 Pranala luar
Kronologi penyebab peristiwa
Kedatangan Tentara Jepang ke Indonesia
Tanggal 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian tanggal 8 Maret 1942, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang
berdasarkan Perjanjian Kalijati. Setelah penyerahan tanpa syarat
tersebut, Indonesia secara resmi diduduki oleh Jepang.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Tiga tahun
kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada bulan Agustus 1945. Dalam kekosongan kekuasaan
asing tersebut, Soekarno kemudian memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Kedatangan Tentara Inggris & Belanda
Setelah
kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata
para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban
di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar,
tanggal 15
September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada
tanggal 25
Oktober 1945.
Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam
AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) atas
keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang,
membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara
Jepang ke negerinya. Namun selain itu tentara Inggris yang datang juga membawa
misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai
negeri jajahan Hindia
Belanda. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut
membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Hal ini
memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan rakyat
Indonesia di mana-mana melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.
Insiden di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya
Artikel utama untuk bagian ini
adalah: Insiden
Hotel Yamato
Hotel Oranye
di Surabaya tahun 1911.
Setelah
munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang
Saka Merah Putih dikibarkan
terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin
meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di
Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang
bernama Hotel
Majapahit) di Jl.
Tunjungan no. 65 Surabaya.
Sekelompok
orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada sore hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa
persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel
Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya
dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan
Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan
gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.
Pengibaran
bendera Indonesia setelah bendera belanda berhasil disobek warna birunya di
hotel Yamato
Tak lama
setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Soedirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai
Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah
Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel
Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan
Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera
diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak
untuk menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk mengakui kedaulatan
Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan.
Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara
Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara
Soedirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda
berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang
semula bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan
tiang bendera dan bersama Koesno Wibowo berhasil menurunkan bendera
Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah
Putih.
Setelah
insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia
melawan tentara Inggris . Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari
berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah
pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.
Kematian Brigadir Jenderal Mallaby
Artikel utama untuk bagian ini
adalah: Aubertin
Mallaby
Brigadir
Jenderal Aubertin Mallaby
Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak
tentara Inggris ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu
tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara
Inggris di Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut
memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan
dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan
terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal
Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang
sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut
terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali. Kematian
Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan
berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan
persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi
NICA.
Perdebatan tentang pihak penyebab baku tembak
Mobil Buick Brigadir Jenderal Mallaby yang
meledak di dekat Gedung Internatio dan Jembatan Merah Surabaya
Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai
Buruh Inggris (Labour
Party). Pada 20
Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen Inggris (House of Commons) meragukan
bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia. Dia menyampaikan
bahwa peristiwa baku tembak ini disinyalir kuat timbul karena kesalahpahaman 20
anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang memulai baku tembak tersebut tidak
mengetahui bahwa gencatan senjata sedang berlaku karena mereka terputus dari
kontak dan telekomunikasi. Berikut kutipan dari Tom Driberg:
"... Sekitar 20 orang (serdadu)
India (milik Inggris), di sebuah bangunan di sisi lain alun-alun, telah
terputus dari komunikasi lewat telepon dan tidak tahu tentang gencatan senjata.
Mereka menembak secara sporadis pada massa (Indonesia). Brigadir Mallaby keluar
dari diskusi (gencatan senjata), berjalan lurus ke arah kerumunan, dengan
keberanian besar, dan berteriak kepada serdadu India untuk menghentikan
tembakan. Mereka patuh kepadanya. Mungkin setengah jam kemudian, massa di
alun-alun menjadi bergolak lagi. Brigadir Mallaby, pada titik tertentu dalam
diskusi, memerintahkan serdadu India untuk menembak lagi. Mereka melepaskan
tembakan dengan dua senapan
Bren dan massa
bubar dan lari untuk berlindung; kemudian pecah pertempuran lagi dengan sungguh
gencar. Jelas bahwa ketika Brigadir Mallaby memberi perintah untuk membuka
tembakan lagi, perundingan gencatan senjata sebenarnya telah pecah, setidaknya
secara lokal. Dua puluh menit sampai setengah jam setelah itu, ia (Mallaby)
sayangnya tewas dalam mobilnya-meskipun (kita) tidak benar-benar yakin apakah
ia dibunuh oleh orang Indonesia yang mendekati mobilnya; yang meledak bersamaan
dengan serangan terhadap dirinya (Mallaby). Saya pikir ini tidak dapat dituduh
sebagai pembunuhan licik... karena informasi saya dapat secepatnya dari saksi
mata, yaitu seorang perwira Inggris yang benar-benar ada di tempat kejadian
pada saat itu, yang niat jujurnya saya tak punya alasan untuk pertanyakan ...
" [4]
10 November 1945
Setelah
terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert
Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang
Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat
yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas
ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.
Ultimatum
tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang
telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut
ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu
sudah berdiri, dan Tentara Keamanan Rakyat TKR juga telah dibentuk sebagai
pasukan negara. Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah
dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang
menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran
tentara Inggris di Indonesia.
Pada 10
November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar, yang
diawali dengan pengeboman udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan
kemudian mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank,
dan kapal perang.
Inggris
kemudian membombardir kota Surabaya dengan meriam dari laut dan darat. Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian
berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk. Terlibatnya
penduduk dalam pertempuran ini mengakibatkan ribuan penduduk sipil jatuh menjadi
korban dalam serangan tersebut, baik meninggal maupun terluka.
Bung Tomo di Surabaya, salah satu pemimpin revolusioner
Indonesia yang paling dihormati. Foto terkenal ini bagi banyak orang yang
terlibat dalam Revolusi Nasional Indonesia mewakili jiwa perjuangan revolusi
utama Indonesia saat itu.[5]
Di luar
dugaan pihak Inggris yang menduga bahwa perlawanan di Surabaya bisa ditaklukkan
dalam tempo tiga hari, para tokoh masyarakat seperti pelopor muda Bung Tomo yang berpengaruh besar di
masyarakat terus menggerakkan semangat perlawanan pemuda-pemuda Surabaya
sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris.
Tokoh-tokoh
agama yang terdiri dari kalangan ulama serta kyai-kyai pondok Jawa seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi
perlawanan (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan
tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai) shingga perlawanan pihak
Indonesia berlangsung lama, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu
lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak
terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini mencapai
waktu sampai tiga minggu, sebelum seluruh kota Surabaya akhirnya jatuh di
tangan pihak Inggris.
Setidaknya
6,000 - 16,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil
mengungsi dari Surabaya. [2]. Korban dari pasukan Inggris dan
India kira-kira sejumlah 600 - 2000 tentara. [3] Pertempuran berdarah di Surabaya
yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat
di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan.
Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10
November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik
Indonesia hingga
sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar